Pusat perbelanjaan ramai pengunjung jelang Lebaran (Ist)
RAMADAN biasanya ditandai dengan gairah ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selanin nuansa religi. Hal itu bisa terlihat dengan munculnya pusat jajanan, atau belanja dadakan. Belum lagi plaza, mal, atau supermarket, juga banyak menggoda calon pembeli dengan diskon fantastis.Kendati demikian, ramainya pusat perbelanjaan oleh kalangan Muslimin tidak bisa serta merta dicap sudah terkena angin budaya konsumtif dari Barat. Melonjaknya permintaan kebutuhan selama Ramadan hingga datangnya Lebaran, masih dalam batas kewajaran. Pasalnya, puasa adalah momen ibadah tahunan, sehingga diperlakukan sedikit istimewa dari hari biasanya, terlebih ada budaya lokal yang melekat di dalamnya.
Persoalan lain yang muncul adalah fenomena sosial dan selalu mewarnai Ramadan, yakni maraknya pengemis di jalanan. Potret ini menandakan sebagian umat Islam masih terbelenggu kefakiran. Pemandangan ini tentu kontras dengan budaya konsumtif dari sebagian masyarakat.
Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Islam masih sangat konservatif berkisar di angka 3 persen. Dengan pertumbuhan sebesar itu, belum bisa diandalkan dalam mengentaskan kemiskinan di kalangan umat Islam.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, tak aneh dengan maraknya pengemis bermunculan di bulan Ramadan, lantaran hal tersebut sudah dijadikan kebiasaan oleh pengemis. Mereka ini menjadikan mengemis sebagai sebuah pekerjaan, apalagi ada kecenderungan umat gampang memberi karena terdorong ibadah Ramadan yang berlipat ganda pahala.
"Sudah seperti gaya atau kebiasaan bahkan di organisasi saat ini oleh mafia. Contohnya di Kampung Sawah, Ciputat. Ada itu yang mengatur para pengemis. Jadi bukan lagi faktor kemiskinan, tetapi kebiasaan," papar Mardi, sapaan akrabnya kepada okezone beberapa waktu lalu.
Menurutnya, solusi untuk mengatasi persoalan ini salah satunya adalah mengubah mental para pengemis. "Memang sulit, karena mereka (pengemis) mentalnya sudah punya hobi sebagai pengemis. Menjadikan mengemis itu sebagai pekerjaan. Mental ini yang harus diperbaiki," tutur pria asal Sumatera Barat ini.
Selain itu, lanjutnya, kurang maksimalnya pengelolaan zakat, infak, shadaqoh (ZIS) di Indonesia menjadi salah satu faktor penyebabnya. "Karena masih amatiran dan tidak profesional pengelolaannya. Namun tidak sepenuhnya ZIS tidak berhasil," tandasnya.
Hal berbeda diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan. Menurutnya, kehadiran pengemis disebabkan salah satunya karena kegagalan negara untuk menyejahterakan rakyat. “Bagaimanapun pemerintah harus mensejahterakan rakyatnya," kata Amidhan.
Untuk mengatasi fenomena pengemis, Amidhan mengungkapkan ada sejumlah hal yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus benar-benar melaksanakan aturan yang mengatur tentang pengemis secara tegas. Kedua, perlu adanya pencerahan dari ulama setempat. “Dai harus mengimbau kepada masyarakat harusnya tangan di atas lebih utama. Yang memberi, lebih baik daripada yang mengadah,” paparnya.
Untuk memberi bantuan atau sedekah sebaiknya jangan dilakukan di jalan-jalan raya. Tapi melalui saluran-saluran yang telah ada, seperti melalui masjid, demikian pesan Amidhan.
Memang ada lonjakan pememenuhan kebutuhan selama Ramadan di masyarakat. Namun jika perilaku ini dinilai sebagai tindakan yang berlebihan, dipandang sebagai konsumerisme agama, juga perlu dipahami lebih lanjut. Kendati demikian, kecenderungan konsumerisme agama juga tak bisa dianggap nihil, karena dalam praktiknya sangat kentara.
Misalnya, tak sedikit dari kelas sosial tinggi yang menggelar buka puasa bersama di hotel atau restoran mewah dan dihadiri hanya kelompok mereka sendiri. Padahal, kaum miskin juga punya hak menikmati indahnya Ramadan. Ahirnya, kesenjangan tetap saja tajam. Pengemis, tetap marak di jalanan, sedangkan hotel, restoran, mal, plaza, justru ramai dengan umat yang berbuka puasa dan memborong belanjaan.
Menghadapi maraknya konsumerisme agama di saat Ramadan ini, maka perlu kiranya membangkitkan kembali nilai-nilai substansi agama. Yakni, pola hidup sederhana yang konsekuen dan konsisten. Puasa bukanlah bertujuan untuk konsumerisme berlebih-lebihan dan pemborosan, akan tetapi hakikat utama adalah menjadi insan yang takwa.
Nabi Muhammad SAW berpesan, “Bahwa berapa banyak amal yang berwujud amal akhirat tetapi menjadi amal dunia karena niat yang jelek, dan berapa banyak amal yang berwujud amal dunia tetapi menjadi amal akhirat karena niat yang baik”.
0 komentar:
Post a Comment