Pejabat di Dinas Pariwisata & Kebudayaan kepergok wisata ranjang, asyik juga rupanya. Tapi karena berdalih sudah nikah siri, ulah Dasiyun, 52,(bukan nama sebenarnya) tak sampai jadi urusan polisi. Setelah tanda tangani pernyatan, bersama “gendakan”-nya hanya diminta gelang sipatu gelang, pulang bersama-sama.
Bagi PNS, larangan poligami sudah harga mati. Tapi karena punya dua “kendaraan” sekaligus itu memang asyik, banyak yang melanggar. Mereka nekad melakukannya secara diam-diam. Untuk menghindari PP-10, istri keduanya hanya dinikah siri. Yang penting secara agama, “kendaraan” itu sudah halalan tayiban untuk dicemplak kapan saja dan di mana saja, kalau perlu sambil minum Cocacola!
Dasiyun setelah menjadi pejabat di Kantor Pariwisata & Budaya Tulungagung (Jatim), secara ekonomi inkamnya memang sudah lumayan. Nah, sebagai wong Jawa yang merasa sudah isa ngliwet kenthel, dia memandang perlu bahwa poligami merupakan sebuah kebutuhan. Logikanya adalah, mobil saja punya ban serep, masak orang tak memiliki. Cuma masalahnya, sebagai PNS “ban serep” itu tak mungkin dipamer-pamerkan macam mobil jip.
Istri kedua Dasiyun adalah Jamilah, 40, (bukan nama sebenarnya) warga Desa Tugu Kecamatan Sendang. Tujuh tahun lalu, jelas Jamilah masih kinyis-kinyis, sekel nan cemekel. Namun demikian, dalam usia kepala 4 dewasa ini, secara pisik Jamilah juga masih prima, sehingga Dasiyun selaku suami masih rajin datang dalam rangka setor benggol dan bonggol. Asal tahu saja, program “slendro pelog” ini sudah dilakukan sejak 2004 lalu.
Dasiyun – Jamilah memang menikah secara siri. Kenapa si cewek mau saja, padahal pernikahan siri menjadikan dia dalam posisi lemah secara hukum? Ya karena pejabat Dinas Pariwisata itu selalu bisa menjamin secara layak. Rumah yang ditinggali sekarang, adalah persembahan dari suami. Maka selama tujuh tahun menjalani kehidupan kawin siri, tugas Jamilah nyaris hanya untuk mamah dan mlumah saja.
Namanya juga kawin siri, Dasiyun tak pernah mengumumkan, apa lagi merilis beritanya pada warga. Kalaupun mereka tahu, ya ben ngerti dhewe (tau sendiri). Tapi celakanya, selama punya “chanel” di Desa Tugu, Dasiyun ini tak pernah mau bermasyarakat. Asal datang langsung masuk kamar, tak mau bergaul dengan tetangga, kecuali menggauli bini. Dapat undangan RT tak mau hadir, disuruh kerja bakti juga tidak jalan, mewakilkan pada seseorang juga tidak.
Warga dan Pak RT-nya jadi kesal lama-lama. Mulailah sisi jelek keluarga itu dicari-cari dan dipolitisir. Dan puncaknya terjadi beberapa malam lalu. Beberapa saat Dasiyun masuk ke rumah istri sirinya, langsung digerebek dan kedapatan pejabat di Dinas Pariwisata itu tengah “wisata ranjang” dengan istrinya. “Ngawur saja, Jamilah ini istri sah saya, tahu? Kami sudah kawin siri….,” bela Dasiyun sambil mencak-mencak.
Boleh saja Dasiyun menyangkal, tapi karena warga begitu banyak, akhirnya tak bisa apa-apa ketika bersama Jamilah dibawa ke balai desa. Untung Pak Kades cukup toleransi, alasan kawin siri diterima. Tapi sebagai pelajaran, keduanya tetap diharuskan bikin Perjanjian Tugu, yang isinya sanggup untuk tidak mengulangi perbuatannya. Daripada ribut, Dasiyun – Jamilah pun teken srett sretttt!
Perbuatan mana? Sebagai suami istri, tentu saja terus berbuat. (OZ/Gunarso TS)
0 komentar:
Post a Comment