Mengatur keuangan keluarga tak sulit, kok, asalkan Anda tak melakukan 8 poin penting berikut.
Ketika mengelola keuangan, seringkali kita melakukan kesalahan yang membuat rencana meleset dan dana yang dibutuhkan pun membengkak. Biasanya, sih, bukan karena gaji suami atau istri tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, tapi karena hal-hal penting seperti cashflow (pendapatan dan pembelanjaan), asuransi, dan investasi terlewatkan. Merunut pada ketiga hal tersebut, Lisa Soemarto, MA, RIFA, RFC, Senior Financial Planner Akbar Financial Check Up menjabarkan 8 kesalahan yang biasa dilakukan pasangan dalam mengatur keuangan beserta solusinya.
1 Tidak membuat anggaran bulanan dan tahunan.
Membuat anggaran adalah hal utama dalam langkah awal mengelola keuangan keluarga agar lebih teratur. Baik dari segi pendapatan juga pengeluaran dan alokasinya. Entah itu untuk memenuhi kebutuhan bulanan dan tahunan.
Seringkali kita juga tidak mengetahui ke mana uang “pergi”, karena tidak memiliki panduan dan catatan pada saat membelanjakannya. Dengan membuat anggaran dan mencatat pengeluaran, maka kita akan mengetahui apakah kondisi keuangan mengalami surplus atau minus setiap bulannya. Sehingga Anda berdua dapat segera melakukan penyesuaian sebelum terjerumus melakukan “gali-tutup lubang”.
2 Lupa prioritas.
Setelah menerima gaji, Lisa menyarankan agar Anda langsung mengalokasikan uang pada pos-pos yang diprioritaskan. Sebut saja uang sekolah, gaji karyawan rumah, membayar cicilan, membayar utang, membayar premi asuransi, dana darurat, serta investasi. Jangan sampai Anda terjebak dengan promosi atau diskon yang mudah sekali membuat kalap. Ingat-ingat prioritas kebutuhan dan pahami bahwa tak semua barang diskon selalu harus dibeli.
3 Menggunakan kartu kredit tanpa kontrol.
Banyak orang menggunakan kartu kredit sebagai gaya-gayaan atau “kartu sakti”. Nah, sebenarnya sejauh Anda mampu berkomitmen dalam penggunaan dan pembayarannya, tak ada masalah jika ingin menggunakannya. Jika belum mampu membayar lunas tagihan kartu kredit, Lisa menyarankan Anda mencicil tagihan dengan konsisten dan sebelum jatuh tempo.
Telat sekali saja akan membebani Anda untuk membayar bunga kartu kredit yang sangat tinggi yang lebih tinggi dari hasil investasi. Akibatnya, investasi tidak maksimal, karena setiap bulan kita terpaksa membayar cicilan dengan bunga yang tinggi.
4 Konsumtif.
Seringkali kita membeli barang sekadar mengikuti tren dan tuntutan lingkungan sekitar. Percaya atau tidak, kebiasaan konsumtif ini biasanya menuntut kita mengeluarkan uang lebih banyak dari jumlah biaya kebutuhan primer.
5 Menyerahkan masalah investasi kepada suami.
Mungkin karena laki-laki atau suami sering dianggap lebih mengerti tentang investasi, maka semua urusan investasi diserahkan kepada suami. Padahal saat mengelola keuangan keluarga dan berinvestasi dibutuhkan kerjasama antara suami dan istri. Untuk itu, istri diharapkan juga memahami cara dan produk-produk investasi. Carilah informasi umum tentang investasi di media massa atau ikuti seminar perencanaan keuangan.
6 Hanya mengelola uang untuk jangka pendek.
Mengelola keuangan bukan hanya untuk saat ini, bulan ini, atau tahun ini. Perencanaan jangka panjang ada baiknya dimulai sedini mungkin. Oleh karena itu, saat melakukan pembelanjaan dan investasi, pikirkan dan rencanakan juga manfaatnya di masa mendatang. Bagilah alokasi investasi berdasarkan jangka waktu. Hasilnya pun akan lebih maksimal, dan tahan diri untuk tidak mencairkannya sebelum jatuh tempo.
7 Ikut-ikutan tren dan pertemanan.
Seringkali kita membeli asuransi karena agennya adalah teman atau keluarga. Padahal yang Anda pertaruhkan adalah keluarga. Lebih baik, pahami dan carilah produk yang benar-benar melindungi keluarga. Salah satu caranya adalah dengan mengetahui apakah jumlah Uang Pertanggungan (UP) mencukupi kebutuhan. Jangan juga memilih investasi berdasarkan tren. Hanya karena Logam Mulia (LM) sedang naik daun, Anda pun tak ingin ketinggalan. Padahal mungkin, pada saat itu, Anda lebih cocok berinvestasi saham (return -nya lebih tinggi daripada LM). Yang terjadi kemudian, malah keperluan keluarga dalam 15 tahun tidak tercapai alias gagal total.
8 Menunjuk anak di bawah umur sebagai ahli waris asuransi.
UP dari asuransi diharapkan bisa melindungi anak saat kita sakit kritis, meninggal dunia, atau kecelakaan. Kesalahan terjadi ketika Anda mencantumkan nama buah hati sebagai ahli waris. Jika orangtua meninggal dan anak-anak masih di bawah 21 tahun, pengadilan akan menunjuk wali untuk mengelola uang tersebut. Jika wali yang ditunjuk bisa bertanggungjawab, tentu tidak masalah. Bagaimana jika sebaliknya? Karenanya Lisa menyarankan, sebelum terjadi sesuatu yang buruk lebih baik orangtua memilih sendiri wali yang Anda percaya dan memang bertanggungjawab.
Kesalahan lain adalah membeli asuransi atas nama anak-anak. “Secara etika kemanusiaan tidak etis, masa menerima uang karena kematian anak? Padahal tujuan asuransi itu untuk memproteksi nilai ekonomis kalau terjadi hal yang tidak diinginkan,” pungkas Lisa.
Perkiraan Uang Pertanggungan
Cara menghitung UP yang paling sederhana adalah dengan melihat berapa kebutuhan keluarga setiap bulan. Misalnya untuk keluarga dengan dua anak (10 dan 5 tahun) yang setiap bulan membutuhkan Rp 10 juta. Setelahnya, tentukan jangka waktu polis yang akan dibeli sesuai dengan usia anak yang termuda (5 tahun) dan hingga usia berapa kita akan menanggung kehidupannya. Misalnya sampai Si Bungsu lulus kuliah. Artinya, masih ada 18 tahun ke depan, kan?
Sehingga perhitungannya adalah 18 tahun x Rp 10 juta x 12 bulan = Rp 2,16 miliar. Jumlah inilah yang menjadi uang pertanggungan atau nilai polis yang harus dibeli yang bisa melindungi anak sampai ia bisa mandiri. Tugas selanjutnya adalah mencari dengan jeli produk yang sesuai dengan kebutuhan UP.
Ester Sondang (Tabloid nova)