Telepon genggam kini sudah menjadi teknologi yang sangat awam. Penggunanya tidak lagi dari kalangan terbatas, tapi juga semua lapisan masyarakat. Bahkan, menurut Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dari 220 juta nomor ponsel di Indonesia, 93 persen merupakan pelanggan pulsa prabayar yang hanya mampu mengisi pulsa Rp10 ribu. Maka, sudah dapat dipastikan bagaimana sms-sms penyedot pulsa yang marak beredar belakangan ini membuat resah para pengguna telepon seluler.
Pemerintah bukannya diam saja. Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia sudah bertemu dengan perwakilan operator untuk membahas kasus pencurian pulsa ini.
Ada lima poin yang mereka simpulkan. Salah satu poinnya adalah bahwa operator harus memberi penjelasan pada publik melalui televisi atau media cetak, soal pendaftaran atau berhenti berlangganan dari suatu pelayanan berbayar. Selain itu, juga bahwa pemotongan pulsa pelanggan harus sesuai dengan izin pelanggan yang bersangkutan.
Tidak ada yang salah dengan poin kesimpulan itu. Sudah sepantasnya malah pemerintah mewajibkan operator memberi penjelasan pada konsumennya soal berbagai layanan mereka. Hanya saja, jika kesimpulan atau kewajiban ini baru muncul saat keresahan masyarakat sudah semakin luas, maka, menurut kami, ini sudah terlambat. Seharusnya, konsumen berhak mendapat penjelasan di awal dari penyedia layanan tanpa pemerintah atau konsumen sendiri harus menuntut penjelasan tersebut.
Pengguna layanan memberi beberapa contoh aksi sedot pulsa, ada yang kehilangan pulsa saat mencoba menghentikan layanan sms tersebut tapi tak pernah berhasil, atau tanpa mendaftar apa-apa, ternyata pulsa mereka sudah terpotong. Jika dua contoh tersebut mewakili modus yang terjadi pada banyak pengguna telepon seluler, maka sudah dapat dipastikan bahwa pemotongan pulsa terjadi tanpa sepengetahuan konsumen. Dan banyak konsumen yang terlanggar hak-haknya di situ.
Sayangnya, perlindungan hak-hak konsumen, dalam hal ini pengguna layanan operator telekomunikasi, terlalu sering dikesampingkan. Konsumen tentu bisa meminta tanggung jawab. Kini orang sudah mulai berani melaporkan pemotongan pulsa yang terjadi pada mereka ke polisi, tapi kita juga tahu, bahwa berurusan dengan polisi suka memunculkan biaya-biaya lain yang jatuhnya jadi lebih besar. Tapi kenapa konsumen harus direpotkan dengan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi pada mereka sejak awal?
Layanan sms penyedot pulsa ini hanya satu contoh pelanggaran hak konsumen. Kini kami ingin mengetahui, apakah Anda juga mengalami pemotongan pulsa lewat layanan pesan pendek? Berapa nilai kerugian Anda? Menurut Anda, apa yang harus dilakukan oleh operator telekomunikasi dalam peristiwa ini? Bagaimana pemerintah, baik itu Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kepolisian, menangani hal ini?
Kami menunggu tumpahan uneg-uneg Anda lewat forum komentar di bawah ini.
Pemerintah bukannya diam saja. Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia sudah bertemu dengan perwakilan operator untuk membahas kasus pencurian pulsa ini.
Ada lima poin yang mereka simpulkan. Salah satu poinnya adalah bahwa operator harus memberi penjelasan pada publik melalui televisi atau media cetak, soal pendaftaran atau berhenti berlangganan dari suatu pelayanan berbayar. Selain itu, juga bahwa pemotongan pulsa pelanggan harus sesuai dengan izin pelanggan yang bersangkutan.
Tidak ada yang salah dengan poin kesimpulan itu. Sudah sepantasnya malah pemerintah mewajibkan operator memberi penjelasan pada konsumennya soal berbagai layanan mereka. Hanya saja, jika kesimpulan atau kewajiban ini baru muncul saat keresahan masyarakat sudah semakin luas, maka, menurut kami, ini sudah terlambat. Seharusnya, konsumen berhak mendapat penjelasan di awal dari penyedia layanan tanpa pemerintah atau konsumen sendiri harus menuntut penjelasan tersebut.
Pengguna layanan memberi beberapa contoh aksi sedot pulsa, ada yang kehilangan pulsa saat mencoba menghentikan layanan sms tersebut tapi tak pernah berhasil, atau tanpa mendaftar apa-apa, ternyata pulsa mereka sudah terpotong. Jika dua contoh tersebut mewakili modus yang terjadi pada banyak pengguna telepon seluler, maka sudah dapat dipastikan bahwa pemotongan pulsa terjadi tanpa sepengetahuan konsumen. Dan banyak konsumen yang terlanggar hak-haknya di situ.
Sayangnya, perlindungan hak-hak konsumen, dalam hal ini pengguna layanan operator telekomunikasi, terlalu sering dikesampingkan. Konsumen tentu bisa meminta tanggung jawab. Kini orang sudah mulai berani melaporkan pemotongan pulsa yang terjadi pada mereka ke polisi, tapi kita juga tahu, bahwa berurusan dengan polisi suka memunculkan biaya-biaya lain yang jatuhnya jadi lebih besar. Tapi kenapa konsumen harus direpotkan dengan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi pada mereka sejak awal?
Layanan sms penyedot pulsa ini hanya satu contoh pelanggaran hak konsumen. Kini kami ingin mengetahui, apakah Anda juga mengalami pemotongan pulsa lewat layanan pesan pendek? Berapa nilai kerugian Anda? Menurut Anda, apa yang harus dilakukan oleh operator telekomunikasi dalam peristiwa ini? Bagaimana pemerintah, baik itu Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kepolisian, menangani hal ini?
Kami menunggu tumpahan uneg-uneg Anda lewat forum komentar di bawah ini.
0 komentar:
Post a Comment