Jakarta - Menjadi pejabat di Indonesia sebenarnya bisa hidup lebih dari berkecukupan. Setiap bulan, gaji puluhan juta rupiah masuk kantong. Belum lagi tunjangan yang jumlahnya sering lebih tinggi dari gaji. Mengapa masih diberi gaji ke-13?
Anggota DPR misalnya setiap bulan paling tidak mendapatkan gaji sekitar Rp 26-28 juta. Untuk ketua DPR mencapai Rp 30 juta. Uang ini berasal dari gaji pokok, aneka tunjangan dan intensif lainnya. Sementara lembaga tinggi lainnya seperti menteri, jaksa agung, panglima TNI, dan pejabat setingkat masing-masing gajinya lebih dari Rp 18 juta.
Selain mendapat gaji tambahan, para pejabat tersebut juga menikmati sejumlah fasilitas tambahan yang nilainya juga tidak sedikit. Namun gaji dan tunjangan yang besar agaknya dirasa kurang. Sebab pemerintah kemudian berencana menaikan gaji mereka berikut ada tambahan gaji ke-13. Gaji tambahan bagi para pejabat ini sudah mengucur sejak awal Juli lalu berbarengan dengan kebijakan pemberian gaji ke 13 bagi PNS dan pensiunan PNS, TNI dan Polri.
Anggaran untuk gaji ke-13 ini sangat besar. Menurut Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto, total anggaran yang sudah dialokasikan Kemenkeu untuk gaji dan pensiun ke-13 sekitar Rp 26 triliun. Dari jumlah itu, gaji ke-13 untuk pejabat lebih dari Rp 1 triliun.
Seandainya dipakai untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, gaji ke-13 itu sangat-sangat signifikan. Misalnya Koalisi Masyarakat Sipil pernah menolak pembangunan gedung DPR senilai Rp1,138 triliun. Alasannya dengan uang Rp 1 triliunan itu (seperti jumlah gaji ke-13 untuk pejabat negara) bisa digunakan untuk pembangunan puluhan ribu sekolah."Setidaknya dapat membangun sebanyak 32.000 gedung sekolah yang baru," kata salah seorang aktivis koalisi, Emerson Yuntho.
Bandingkan pula bila gaji ke-13 itu digunakan untuk membangun monorel. Jumlah Rp 26 triliun bisa dipakai untuk pembangunan monorel untuk 8 kota. Pasalnya untuk membangun monorel di Makassar, Jusuf Kalla melakukan investasi Rp 4 triliun.
Maka sungguh disayangkan gaji ke-13 menghabiskan dana sedemikian besar terlebih diberikan untuk pejabat negara yang sudah sejahtera. "Kalau kenaikan gaji PNS yang besarnya 15% pada 2011 masih wajar. Tapi kalau gaji pejabat ikut-ikutan naik dan malah mendapat gaji ke-13 ini kurang wajar,"jelas Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan kepada detik+.
Ketidakwajaran ini lantaran para pejabat sudah mendapatkan aneka tunjangan dan sejumlah fasilitas. Misalnya, untuk pejabat sekelas anggota DPR atau lembaga yang mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp 9,7 -18 juta. Belum lagi tunjangan-tunjangan lain berikut fasilitas yang diberikan negara terhadap mereka.
Dari data yang dirilis FITRA, masing-masing pejabat eselon 1 dan 2 mendapatkan gaji pokok berkisar Rp 4,5 juta sampai Rp 8 juta per bulan. Sementara tunjangan yang didapat berkisar Rp 9 juta sampai 18 jutaan.
Sementara tunjangan untuk pejabat daerah juga tidak kalah besar dari pejabat pemerintah pusat. Catatan FITRA, di DKI Jakarta misalnya, pejabat eselon I mendapatkan tambahan penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, dan staf mendapat tambahan antara Rp 2,9-4,7 juta.
"Kalau gaji para pejabat ini dinaikan dan dimasukan ke dalam gaji ke-13 tentu bakal membengkak beban keuangan negara dari pos belanja pegawai," sesal Yuna.
Sejak awal Juli pemerintah memang mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2011 tentang Pemberian Gaji/ Pensiun/ Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam Tahun Anggaran 2011 Kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/ Tunjangan. Pemberian gaji ke-13 ini dimaksudkan untuk menunjang kebutuhan pendidikan dan kesejahteraan PNS.
Hanya saja, dalam PP tersebut pejabat negara yang gajinya sudah besar juga dimasukan dalam kebijakan tersebut. "Ini yang disayangkan harusnya pejabat tidak menerima gaji ke-13.Mereka kan gajinya sudah besar," jelas Yuna.
Sejak bergulirnya gaji ke-13 yang dimulai sejak 2006 hanya segelintir saja pejabat yang menolaknya.Salah satunya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assiddiqie. Saat masih menjadi Ketua MK Jimly berpendapat gaji ke-13 hanya layak diterima pegawai golongan rendah, bukan pejabat.
"Kalau pegawai negeri kan gajinya masih rendah, lain dengan pejabat negara," ujar Jimly.
Menurut Jimly, pegawai negeri yang pantas menerima gaji ke-13 adalah mereka yang berada di Golongan I dan II. Pegawai ini yang memang tidak berpenghasilan besar berhak mendapatkan gaji ke-13.
Jimly kemudian mengingatkan kalau masalah gaji sebenarnya adalah masalah gaya hidup. Berapa pun gaji pejabat, tidak akan cukup jika gaya hidupnya bermewah-mewahan. Itu sebabnya penolakan yang dilakukan Jimly hanyalah pesan moral aja, supaya pejabat bisa bercermin pada pegawai yang bergaji rendah.
Penolakan Jimly kini dilanjutkan oleh Ketua MK Mahfud MD. Selain itu penolakan juga dilakukan pimpinan KPK. Sayang kalangan DPR dan eksekutif belum ada yang memberikan contoh penolakan gaji ke-13 ini. Padahal gaji ke-13 ini makin membuat bengkak belanja pegawai yang membebani anggaran negara.
Catatan FITRA, gaji PNS dan pejabat ini menjadi salah satu dari 10 penyebab membengkaknya ongkos birokrasi.
Powered by : Detik.com Deden Gunawan - detikNews
Anggota DPR misalnya setiap bulan paling tidak mendapatkan gaji sekitar Rp 26-28 juta. Untuk ketua DPR mencapai Rp 30 juta. Uang ini berasal dari gaji pokok, aneka tunjangan dan intensif lainnya. Sementara lembaga tinggi lainnya seperti menteri, jaksa agung, panglima TNI, dan pejabat setingkat masing-masing gajinya lebih dari Rp 18 juta.
Selain mendapat gaji tambahan, para pejabat tersebut juga menikmati sejumlah fasilitas tambahan yang nilainya juga tidak sedikit. Namun gaji dan tunjangan yang besar agaknya dirasa kurang. Sebab pemerintah kemudian berencana menaikan gaji mereka berikut ada tambahan gaji ke-13. Gaji tambahan bagi para pejabat ini sudah mengucur sejak awal Juli lalu berbarengan dengan kebijakan pemberian gaji ke 13 bagi PNS dan pensiunan PNS, TNI dan Polri.
Anggaran untuk gaji ke-13 ini sangat besar. Menurut Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto, total anggaran yang sudah dialokasikan Kemenkeu untuk gaji dan pensiun ke-13 sekitar Rp 26 triliun. Dari jumlah itu, gaji ke-13 untuk pejabat lebih dari Rp 1 triliun.
Seandainya dipakai untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, gaji ke-13 itu sangat-sangat signifikan. Misalnya Koalisi Masyarakat Sipil pernah menolak pembangunan gedung DPR senilai Rp1,138 triliun. Alasannya dengan uang Rp 1 triliunan itu (seperti jumlah gaji ke-13 untuk pejabat negara) bisa digunakan untuk pembangunan puluhan ribu sekolah."Setidaknya dapat membangun sebanyak 32.000 gedung sekolah yang baru," kata salah seorang aktivis koalisi, Emerson Yuntho.
Bandingkan pula bila gaji ke-13 itu digunakan untuk membangun monorel. Jumlah Rp 26 triliun bisa dipakai untuk pembangunan monorel untuk 8 kota. Pasalnya untuk membangun monorel di Makassar, Jusuf Kalla melakukan investasi Rp 4 triliun.
Maka sungguh disayangkan gaji ke-13 menghabiskan dana sedemikian besar terlebih diberikan untuk pejabat negara yang sudah sejahtera. "Kalau kenaikan gaji PNS yang besarnya 15% pada 2011 masih wajar. Tapi kalau gaji pejabat ikut-ikutan naik dan malah mendapat gaji ke-13 ini kurang wajar,"jelas Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan kepada detik+.
Ketidakwajaran ini lantaran para pejabat sudah mendapatkan aneka tunjangan dan sejumlah fasilitas. Misalnya, untuk pejabat sekelas anggota DPR atau lembaga yang mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp 9,7 -18 juta. Belum lagi tunjangan-tunjangan lain berikut fasilitas yang diberikan negara terhadap mereka.
Dari data yang dirilis FITRA, masing-masing pejabat eselon 1 dan 2 mendapatkan gaji pokok berkisar Rp 4,5 juta sampai Rp 8 juta per bulan. Sementara tunjangan yang didapat berkisar Rp 9 juta sampai 18 jutaan.
Sementara tunjangan untuk pejabat daerah juga tidak kalah besar dari pejabat pemerintah pusat. Catatan FITRA, di DKI Jakarta misalnya, pejabat eselon I mendapatkan tambahan penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, dan staf mendapat tambahan antara Rp 2,9-4,7 juta.
"Kalau gaji para pejabat ini dinaikan dan dimasukan ke dalam gaji ke-13 tentu bakal membengkak beban keuangan negara dari pos belanja pegawai," sesal Yuna.
Sejak awal Juli pemerintah memang mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2011 tentang Pemberian Gaji/ Pensiun/ Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam Tahun Anggaran 2011 Kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/ Tunjangan. Pemberian gaji ke-13 ini dimaksudkan untuk menunjang kebutuhan pendidikan dan kesejahteraan PNS.
Hanya saja, dalam PP tersebut pejabat negara yang gajinya sudah besar juga dimasukan dalam kebijakan tersebut. "Ini yang disayangkan harusnya pejabat tidak menerima gaji ke-13.Mereka kan gajinya sudah besar," jelas Yuna.
Sejak bergulirnya gaji ke-13 yang dimulai sejak 2006 hanya segelintir saja pejabat yang menolaknya.Salah satunya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assiddiqie. Saat masih menjadi Ketua MK Jimly berpendapat gaji ke-13 hanya layak diterima pegawai golongan rendah, bukan pejabat.
"Kalau pegawai negeri kan gajinya masih rendah, lain dengan pejabat negara," ujar Jimly.
Menurut Jimly, pegawai negeri yang pantas menerima gaji ke-13 adalah mereka yang berada di Golongan I dan II. Pegawai ini yang memang tidak berpenghasilan besar berhak mendapatkan gaji ke-13.
Jimly kemudian mengingatkan kalau masalah gaji sebenarnya adalah masalah gaya hidup. Berapa pun gaji pejabat, tidak akan cukup jika gaya hidupnya bermewah-mewahan. Itu sebabnya penolakan yang dilakukan Jimly hanyalah pesan moral aja, supaya pejabat bisa bercermin pada pegawai yang bergaji rendah.
Penolakan Jimly kini dilanjutkan oleh Ketua MK Mahfud MD. Selain itu penolakan juga dilakukan pimpinan KPK. Sayang kalangan DPR dan eksekutif belum ada yang memberikan contoh penolakan gaji ke-13 ini. Padahal gaji ke-13 ini makin membuat bengkak belanja pegawai yang membebani anggaran negara.
Catatan FITRA, gaji PNS dan pejabat ini menjadi salah satu dari 10 penyebab membengkaknya ongkos birokrasi.
Powered by : Detik.com Deden Gunawan - detikNews
0 komentar:
Post a Comment